Ketika Tradisi Ritual Haji Menjamur
KETIKA TRADISI RITUAL HAJI MENJAMUR
Oleh
Ustadz Zaenal Abidin, Lc.
RITUAL BID’AH SEBELUM DAN SESUDAH HAJI
Realita berbicara bahwa kaum awwam dalam beragama lebih membenarkan kebiasaan daripada membiasakan kebenaran. Prilaku ini menimbulkan tumpang tindih antara syariat dan tradisi. Naifnya mereka lebih membela dan melestarikan tradisi daripada syariat dengan alasan takut dituduh sesat, puritan atau anti budaya. Mereka menganggap bahwa tuduhan, ejekan dan fitnah yang ditimbulkan manusia merupakan adzab dari Allâh Azza wa Jalla , Allâh Azza wa Jalla mengabarkan hal tersebut dalam firman-Nya :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ
Dan di antara manusia ada orang yang berkata, “Kami beriman kepada Allâh “, Maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allâh , ia menganggap fitnah manusia itu sebagai adzab Allâh Azza wa Jalla ? [al-Ankabût/29:10]
Sebagian manusia menobatkan tradisi dan budaya nenek moyang menjadi bagian ritual agama yang dianggap shahih. Mereka rela berkorban dengan penuh kesetiaan dan ketulusan untuk melestarikannya, apalagi didukung para tokoh dengan berbagai macam argumen yang “menguatkan” (tapi membingungkan) kalangan awam sehingga mereka menganggap sakral dan mengkultuskan para pencetus dan tokoh pembelanya.
Di antara bentuk tradisi yang dilestarikan dan diyakini menjadi bagian dari syariat Islam yang harus ditunaikan antara lain; selamatan atau walimatul safar sebelum berangkat haji. Calon jamaah haji ketika akan berangkat dilepas dengan alunan suara adzan dan ketika apabila datang dari Makkah, mereka tidak boleh masuk ke rumah sebelum dimintai berkah doanya. Air zamzam yang dibawa dari Makkah dimasukkan ke dalam sumur sehingga sumur tersebut diyakini keberkahannya. Selama jamaah haji sedang menunaikan haji 40 hari, maka para tetangga bergantian datang ke rumahnya baik harian atau mingguan untuk yasinan, tahlilan, ratiban, rawian dan manaqiban. Bahkan ada pesantren yang menyiapkan tim ritual tersebut yang dipandu oleh kiyainya sehingga banyak calon jamaah haji telah membokingnya jauh-jauh hari sebelum hari keberangkatannya. Bahkan, ada yang lebih aneh lagi, sebelum berangkat haji diantara mereka berpamitan kepada para wali dengan cara berziarah ke makam-makam wali songo.
Kesalahan praktek ibadah bukan semata kesalahan individu masyarakat awam, namun para tokoh agamalah yang menggulirkan ajaran penuh dengan kebodohan dan kesesatan yang disuntikkan ke akal orang awam agar mereka membenci dan memusuhi ajaran murni dan suci. Masyarakat awam hanya bisa berdalih sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla dan mengikuti Rasul”. mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ? [al-Mâidah/5:104]
Padahal cara beragama yang benar harus dibangun diatas ittibâ’ sebagaimana yang telah ditegaskan Ibnu Taimiyah rahimahullah , “Agama kaum Muslimin dibangun atas dasar ittiba’ kepada al-Qur’ân, as-Sunnah, dan ijma’ umat Islam. Ketiga dasar tersebut bersifat ma’sûm (bebas dari kesalahan-red), sehingga seluruh perkara yang diperselisihkan umat harus dikembalikan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu, perasaan, gagasan tokoh ataupun peninggalan budaya. Oleh sebab itu siapapun tidak boleh mengangkat seorang tokoh untuk umat yang wajib diikuti, dibela dan memusuhi atas dasar tersebut kecuali nabi Muhammad n dan tidak boleh menjadikan ucapan yang menjadi pedoman sehingga membela dan memusuhi karenanya selain ucapan Allâh Azza wa Jalla , ucapan Rasul-Nya dan ijma umat Islam”.[1]
AKAR RITUAL BID’AH HAJI
Tidaklah muncul kesesatan termasuk ritual bid’ah sebelum dan sesudah haji melainkan bersumber dari rekaan hawa nafsu dan mengedapankan akal diatas nash-nash agama. Karena langkah demikian hanya menghasilkan berbagai macam keburukan, menampakkan kekejian, merobek penutup harga diri dan kehormatan serta menjadi pintu masuk berbagai kejahatan,[2] bahkan seluruh kebid’ahan lahir karena menuhankan hawa nafsu dan mengedepankan akal dengan mengalahkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allâh Azza wa Jalla membiarkannya dalam keadaan seperti itu berdasarkan ilmu-Nya, dan Allâh Azza wa Jalla telah mengunci mati pendengaran dan hatinya kemudian meletakkan penutup di atas penglihatannya?. [Al-Jatsiyah/45:23].
Qadhi Syuraih t berkata, “Celakalah kalian, sungguh Sunnah telah mendahului qiyasmu, maka ikutilah sunnah jangan membuat kebid’ahan, karena kalian tidak akan tersesat selagi masih mengambil atsar.” [3]
Mengikuti kebenaran membutuhkan sikap tulus dan menanggalkan gengsi, sombong dan sikap fanatis tokoh. Karena sangat sulit bagi seseorang harus mengakui kebenaran yang dahulu dianggap sesat dan mengikuti kebenaran suatu kelompok atau seorang tokoh yang dahulu dianggap berseberangan. Maka dalam keadaan demikian, biarpun salah tetap mengaku benar bahkan berani menantang dengan menghalalkan segala cara termasuk dengan mubahalah. Keadaan mereka menyerupai yang dituturkan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
وَإِذْ قَالُوا اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allâh Azza wa Jalla , jika betul (Al Quran) ini, Dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah Kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada Kami azab yang pedih”. [al-Anfâl/8:32]
Bila keyakinan sudah mendarah daging maka akan sulit bagi pelakunya unutk rujuk kepada kebenaran kecuali sedikit. Itupun kebanyakan motivasi awal mereka ketika ingin rujuk kepada kebenaran karena faktor dunia.[4] maka, banyak sekali nash-nash al-Qur’ân dan as-Sunnah yang mencela sikap mengikuti hawa nafsu, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Maka jika mereka tidak menjawab seruanmu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla sedikitpun. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. [al-Qashas/28:50]
Mereka tidak berusaha mencari kebenaran namun yang mereka cari adalah pembenaran atas kebatilannya. Contoh paling aktual yang sering kita saksikan adalah tradisi walimah dan selamatan sebelum dan sesudah haji. Mereka menjadikan hawa nafsu sebagai sumber inspirasi untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dan tidak peduli apakah tindakannya sesuai dengan keinginan Allâh Azza wa Jalla atau menyelisihinya. Barangsiapa yang membenci kebenaran dan mengikuti hawa nafsunya pasti kesesatan yang akan mereka peroleh.
Nabi bersabda:
وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِيْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لاَ يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلاَ مَفْصِلٌ إِلاَّ دَخَلَهُ
Dan sesungguhnya akan keluar dari umatku sekelompok kaum yang diserang hawa nafsu tersebut, seperti seorang yang diserang virus anjing rabies, hingga tidak tersisa urat dan persendian melainkan telah dimasukinya.”[5]
Hawa nafsu terkadang mengusai orang alim yang mempunyai kepedulian terhadap al-Qur’ân dan as-Sunnah, namun tidak menyerunya untuk meninggalkan nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah secara keseluruhan, tetapi hanya mengajak untuk mengamalkan kandungan al-Quran dan as-Sunnah yang sesuai dengan selera hawa nafsunya. Maka wajib bagi seorang hamba mengukur apakah kadar kecintaan dan kebenciannya kepada sesuatu dengan perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.[6]
Memang benar, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadakan walimah safar ketika sampai di Madinah namun beliau n melakukan setelah datang dari safar sebagaimana yang ditegaskan Jabir bin Abdullah z bahwa Nabi pernah membeli seekor onta dariku dengan harga satu setengah atau dua dirham ketika beliau n datang beliau memerintahkan untuk menyembelih sapi dan mereka memakannya .[7]
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat anjuran bagi seorang pemimpin atau tokoh agar menjamu para shahabatnya ketika ia datang dari safar. Dan demikian itu hukumnya mustahab (sunat) menurut para Ulama salaf yang disebut dengan istilah Naqii’ah. Sementara Imam Muhallab t menukil bahwa Ibnu Umar c ketika datang dari bepergian menjamu orang-orang yang menemuinya dan makan bersama mereka dan mengurungkan qada’ puasa Ramadhan, karena beliau n memang tidak pernah berpuasa saat sedang safar dan ketika usai menjamu maka beliau mulai mengqada puasa ramadhan.[8]
PERLU ULAMA RABBANI
Sudah menjadi ketetapan sunatullah bahwa semakin jauh jarak umat dengan zaman turunnya risalah maka semakin banyak terjadi distorsi dan penyelewengan sebagaimana yang telah terjadi pada ahli kitab dan demikian itu juga terjadi pada umat Islam seperti firman Allâh Azza wa Jalla :
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allâh Azza wa Jalla dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. [ al-Hadîd/57:16].
Ibnu Mas’ud berkata, “Jarak antara keislaman kami dengan ayat teguran ini hanya empat tahun.”[9]
Islam adalah agama yang mulia dan mempunyai cara untuk menghadapi setiap perkembangan atau perubahan agar tidak terjadi perpecahan dan penyimpangan dengan cara setiap urusan yang timbul harus diserahkan dan ditangani dengan serius oleh para Ulama rabbani dan mengembalikan semua urusan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasulnya sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri, di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri),” [An-Nisa’/4:83].
Bila mereka mengembalikan urusan mereka pada saat damai atau perang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Ulama maka mereka akan mendapatkan ilmunya dari hasil ijtihad para Ulama sebagai jawaban atas kasus-kasus yang terjadi.[10]
Demikianlah etika Islam dalam menangani setiap kasus termasuk masalah ritual selamatan sebelum dan sesudah haji maka mereka selalu menyerahkan kepada para Ulama rabbani dan mengembalikan semua urusan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul sehingga akan mendapatkan kepastian hukum, menumbuhkan sikap bijak dan lapang dada, interaksi kehidupan beragama berjalan kondusif dan semua pihak terbiasa berpikir jernih dalam mengatasi setiap masalah dengan tetap mengedepankan etika perbedaan dan ketulusan mencari kebenaran.
SOLUSI MENDASAR
Munculnya berbagai macam problem kehidupan agama terutama bid’ah seputar ritual dan tradisi sebelum dan sesudah haji sering timbul akibat kebodohan umat terhadap ilmu agama, dan sebagai obatnya adalah belajar. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada teman seseorang yang terluka, lalu dia memberi fatwa kepadanya wajib mandi, sehingga meninggal dunia: “Mereka membunuhnya, semoga Allâh Azza wa Jalla membunuh mereka, kenapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu sesungguhnya sembuhnya ke-bisuan berasal dari bertanya.” [11]
Kedunguan hati dari ilmu dan kebisuan lisan dari berbicara, dinyatakan sebagai penyakit dan obatnya adalah bertanya kepada Ulama, sehingga dengannya ilmu yang bermanfaat bisa diraih. Sebab ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang terpancar dari lentera al-Kitab dan as-Sunnah, sesuai dengan pemahanan para sahabat dan Tabi’in, termasuk perkara yang terkait dengan ma’rifat kepada Allâh Azza wa Jalla , hukum halal-haram, zuhud, kebersihan hati dan akhlak mulia serta dalam mengatur kehidupan rumah tangga.
Agar umat tidak menjadi korban kebodohan dan kejumudan harus membekali diri dengan ilmu sehingga tidak bingung dalam menghadapi berbagai macam isu agama dan polemik pemikiran. Ilmu yang bermanfaat ibarat senjata paling ampuh dalam berperang. Ilmu bermanfaat merupakan pemusnah dua penyakit rohani yang paling berbahaya yang menjadi akar segala penyakit hati, yaitu Syubhat dan Syahwat. Bila ilmu telah meresap ke dalam hati, maka akan melenyapkan dan mencabut sampai ke akar-akarnya kedua penyakit syubhat dan syahwat. Seperti orang yang sedang minum obat mujarab, mudah terserap oleh tubuh dan segala macam kuman akan hancur dan musnah, bukan obat yang membuat kuman semakin kebal.
Kemudian didukung dengan jihad yang besar maka pasti Allâh Azza wa Jalla akan memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. [al-Ankabut/29: 69].
Ibnu Qayyim t berkata, “Allâh Azza wa Jalla menggantungkan atau mengaitkan hidayah dengan jihad. Dengan demikian orang yang paling sempurna hidayahnya adalah orang paling besar jihadnya. Dan jihad yang paling fardhu adalah memerangi nafsu syahwat, memerangi hawa nafsu, memerangi godaan syetan dan memerangi cinta dunia. Barangsiapa yang telah memerangi empat tersebut karena Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla akan menunjukkan berbagai jalan kerindhaan-Nya yang menghantarkan ke surga-Nya.[12]
Ibnu Wadhdhah t meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu bahwa beliau rahimahullah berkhutbah di Syam dan berkata: “Wahai umat manusia, carilah ilmu sebelum sirna dan pertanda sirnanya ilmu adalah dengan meninggalnya para ulama, maka berhati-hatilah terhadap perkara bid’ah dan sikap berlebihan, berpegang teguhlah terhadap ajaran yang murni.”[13]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1] Alfatawa: oleh Ibnu Taimiyah: 20/164
[2] Lihat Adabut Dunya, al-Mawardi, hl. 32.
[3] HR. Ad-Darimi dalam sunannya, (202) 1/71.
[4] Lihat al-Qaid Ila Tashihul Aqaid, Abdurahman al-Yamani, hl. 20.
[5] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud, (4597), Ahmad, (4/102), ad-Darimi, (2/158), al Hakim, (8325), al Ajurri dalam as-Syari’ah, (31), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, (1, 2, dan 65), Ibnu Nashr al-Marwazi dalam as-Sunnah, (14 dan 15), al-Laalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wa Al-Jama’ah, (150), dan Ibnu Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra, (245 dan 247). Dan hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Dzilalul Jannah, (1).
[6] Lihat Majmû Fatâwâ, 28/ 133-134.
[7] Shahih diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya (3089).
[8] Lihat Fathul Bâri, 6/ 216.
[9] Lihat Tafsir an-Nasafi, 2/ 649 dan tafsir as-Sam’ani, 4/ 241.
[10] Lihat Mafatihul Ghaib, tafsir surat an-Nisa’: 83.
[11] Hasan diriwayatkan Imam Abu Daud dalam Sunannya (337) dan Ibnu Majah dalam Sunannya (572) dan dihasankan Syaikh al-Bani dalam shahih Sunan Abu Daud (337)
[12] Lihat al-Fawaid, Ibnu Qayyim, hlm. 91.
[13]. al-Bida’ wa an-Nahyu Anha. Hlm. 26.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3737-ketika-tradisi-ritual-haji-menjamur.html